Tuesday, October 4, 2016

NEW YORK TIMES menulis...

NEW YORK TIMES : FRANCIS MEMBANGUN POPULARITAS PRIBADINYA DENGAN CARA MENGURBANKAN GEREJA YANG DIPIMPINNYA
by Pete Baklinski
NEWSCATHOLIC CHURCH
3 Oktober 2016 (LifeSiteNews) - Ketika Matthew Schmitz Editor, First Things, menulis sebuah artikel minggu lalu di the New York Times yang menguraikan bagaimana Paus Francis telah "gagal dan mengecewakan" umat Katolik yang setia dengan berbagai cara, maka Carl Olson, editor Katolik World Report tidak bisa berkata yang lain kecuali menyetujuinya, dan dia menulis karyanya sendiri dengan mengambil pikiran Schmitz lebih jauh.
Dalam karyanya tanggal 28 September 2016 yang berjudul "Apakah Paus Francis Telah Gagal?" Schmitz menjawab 'ya' ketika dia mengamati apa yang menjadi “Francis effect” (pengaruh/akibat Francis) yaitu segala sesuatu yang telah dilakukan Francis terhadap Gereja, setidaknya di Amerika Serikat.
Schmitz menulis bahwa sementara Francis memberi "perhatian besar untuk menjangkau umat Katolik yang tidak puas" dengan "nada non-dogmatis dari pernyataan-pernyataannya”, seperti misalnya ‘Who am I to judge?’ dan sikapnya yang lunak terhadap penerimaan Komuni Kudus bagi orang yang bercerai dan menikah lagi, maka terdapat kenyataan bahwa jumlah kehadiran umat pada Misa hari Minggu telah menurun sejak dia menjadi paus, terutama di kalangan kaum muda Katolik.
Bukan hanya umat yang hadir pada Misa hari Minggu yang turun, tetapi juga berbagai macam kegiatan ibadah lainnya semakin berkurang.
"Pada tahun 2008, hanya 50 persen umat yang dilaporkan menerima abu pada hari Rabu Abu, 46 persen mengatakan mereka berpantang daging pada hari Jumat. Tetapi tahun ini, hanya 41 persen melaporkan menerima abu dan hanya 36 persen mengatakan mereka berpantang,” demikian menurut penelitian Georgetown’s Center for Applied Research in the Apostolate," kata Schmitz. Dan dia menambahkan : “Meskipun popularitas Francis semakin meningkat, tetapi nampak sekali banyak kaum muda yang semakin menjauhi iman.”
Schmitz berpendapat bahwa meskipun popularitas Francis semakin besar, namun Gereja tidak mengalami "kebangkitan" karena Francis tidak memberikan alasan yang layak bagi umat untuk “bangkit dan kembali bersemangat.”
"Francis menggambarkan bahwa para pastor paroki bertindak sebagai 'monster kecil' yang melemparkan batu kepada orang-orang berdosa yang malang. Dia telah memberikan diagnosa kepada pejabat kuria seolah berpenyakit ‘Alzheimer spirituil’. Francis menegur para aktivis pro-life (pembela kehidupan) sebagai terobsesi oleh tindakan aborsi. Dia mengatakan bahwa umat Katolik yang menganggap penting mengikuti Misa, serting mengaku dosa, dan mendaraskan doa-doa tradisional Gereja sebagai kaum 'Pelagian' – yaitu orang yang percaya, secara keliru, bahwa mereka bisa diselamatkan dengan upaya mereka sendiri," tulis Schmitz.
"Tuduhan-tuduhan semacam ini telah melemahkan semangat iman umat Katolik yang setia tanpa memberikan kesempatan mereka untuk memahami kesalahan mereka. Beberapa umat ada yang berkata ‘Mengapa bergabung dengan gereja yang imam-imamnya bertindak sebagai monster-monster kecil yang kesukaannya melempar batu?’ Ketika Paus sendiri menekankan keadaan spiritual seseorang lebih penting daripada tindakan ketaatan beribadah, maka hanya ada sedikit sekali alasan bagi umat untuk berbaris menunggu giliran pengakuan dosa atau bangun pagi untuk mengikuti Misa," Schmitz menambahkan.
Schmitz menyimpulkan bahwa popularitas Francis adalah sesuatu yang ‘lemah sekali’ ketika harus berhubungan dengan ajaran Gereja yang harus menghadapi berbagai keadaan tak terduga saat ini.
"Francis telah membangun popularitasnya dengan cara mengorbankan gereja yang dipimpinnya. Mereka yang ingin melihat sebuah gereja yang lebih kuat mungkin harus menunggu datangnya paus berikutnya nanti. Bukannya berusaha untuk melunakkan dan sekaligus mengaburkan ajaran gereja (seperti yang dilakukan oleh Francis saat ini), tetapi paus berikutnya nanti perlu berbicara tentang cara disiplin yang keras yang dapat menuntun umat kepada kebebasan. Menghadapi zaman yang kejam saat ini dengan melalui pengakuan iman Katolik yang sejati, mungkin menjadi tidak populer, tetapi seiring waktu berjalan hal itu akan terbukti lebih efektif. Bahkan Kristuspun harus menghadapi cemoohan orang banyak," kata Schmitz menyimpulkan.
Olson, memberi judul kepada tulisannya tanggal 28 September 2016 dengan kalimat kesimpulan dari Schmitz ini 'Francis telah membangun popularitasnya dengan cara mengorbankan gereja yang dipimpinnya,' dimana dia memberikan ulasan lebih panjang dengan topik yang belum disampaikan oleh Schmitz.
"Schmitz hanya menyentuh beberapa masalah ini secara sepintas, tetapi mereka yang telah mengikuti pemerintahan kepausan ini dari dekat dan sejak awal, tahu betapa masa tiga tahun terakhir ini telah menyaksikan hempasan arus kebingungan, hiperbola, ambiguitas, inkonsistensi, pesan-pesan yang campur aduk tak karuan dari Francis, ketidak akuratan, penghinaan terselubung - belum lagi penggunaan dan penyalahgunaan bahasa yang aneh demi menciptakan kebingungan yang semakin dalam," tulisnya.
Olson menulis bahwa dia setuju dengan penilaian Schmitz bahwa tuduhan-tuduhan yang dilakukan paus kepada umat Katolik yang setia telah melemahkan semangat iman mereka tanpa memberikan alasan atau solusi apapun. "Francis telah mendapatkan sambutan dan pujian dari orang-orang yang melihat kepausannya sebagai awal dari sebuah revolusi untuk menghapuskan litani-kritikan yang banyak terjadi di dalam Gereja: terlalu patriarkal, kaku, berpikiran sempit, moralistik, menghakimi, fanatik, homophobic, Islamofobia, dll, dll. Ya, memang ada umat Katolik yang kecewa dan bahkan marah kepada Francis, tetapi tanggapan yang luar biasa, menurut pengalaman saya, hanyalah berupa pertanyaan "Apa yang dia lakukan? dan mengapa?" demikian tulisnya.
Olson bertanya-tanya apakah Schmitz memang benar ketika mengatakan bahwa Francis "mencoba untuk melunakkan ajaran Gereja." "Secara pribadi, saya tidak melihat penafsiran lain diluar kesimpulan itu. Lebih dari itu, jika Francis tak pernah berniat mengubah atau melunakkan ajaran Gereja, mengapa dia selalu tergantung secara berkelanjutan kepada Kardinal Kasper dan pejabat Gereja Jerman lainnya, pada dua Sinode yang lalu, yang menimbulkan kebingungan besar, tingkah laku dan sikap yang berlebihan, isyarat-isyarat dan gerak tubuh aneh yang tak ada habisnya, bersikap marah pada kesimpulan dari Sinode 2015, sikap ambigu yang menyiksa dan terencana pada pasal 8 dari Amoris Laetitia, dan sebagainya?" demikian tulisnya.
"Sangat disayangkan - memang, sangat menyakitkan – jika menyaksikan kebingungan, kekacauan, dan frustrasi yang sering dilakukan oleh Bahtera Petrus, bukannya memberikan penghiburan, kenyamanan, tempat bernaung serta kejelasan di tengah gelombang hitam di dunia ini yang semakin bergejolak dan bermusuhan saat ini.” demikian dia menyimpulkan.


No comments:

Post a Comment